Tuesday, May 17, 2005 By: adedepok

MEMAAFKAN ATAU MEMBALAS SECUKUPNYA

Suatu hari 'Aisyah yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah saw,dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya
dengan ucapan assamu 'alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan assalamu'alaikum kepada Rasulullah.Tak lama kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Iamasuk dan mengucapkan assamu 'alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan sengaja untuk mengganggu ketenangan Rasulullah. Menyaksikan polah tingkah mereka 'Aisyah gemas dan berteriak: Kalianlah yang celaka! Rasulullah tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur,

"Hai 'Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan menanamkan keindahannya. Kenapa engkah harus marah dan berang?"
"Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara
keji sebagai pengganti dari ucapan salam?"
"Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya wa 'alaikum (juga atas
kalian), dan itu sudah cukup."

Sebagai istri, 'Aisyah tentu tidak rela manakala suami tercintanya menerima ucapan keji dan busuk sebagaimana yang diucapkan oleh orang Yahudi. Darahnya segera mendidih, dan tanpa kendali keluarlah dari kedua bibirnya kata-kata keji pula sebagai balasan atas mereka. Apa yang dikatakan oleh 'Aisyah sebenarnya dalam batas kewajaran. Ia tidak berlebihan dalam mengumpat dan mengata-katai mereka. Ia hanya membalassecara setimpal apa yang mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah belum berkenan terhadap ucapan istrinya. Beliau ingin agar 'Aisyah mengganti ucapannya dengansatu kata yang lugas tapi tetap sopan. Rasulullah berkata, "Wa 'alaikum, itu sudah cukup."

Urusan salam ini nampaknya sederhana, tapi dalam Islam mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Salam merupakan pembuka kata dalam setiap perjumpaan, baik perjumpaan di udara maupun di darat (tatap muka). Salam bahkan menunjukkan kepribadian seseorang. Orang yang secara tiba-tibaberkata-kata tanpa didahului oleh salam bisa dianggap kurang etis atau tidak sopan. Apalagi jika akan memasuki rumah orang. Bahkan nada suara, ekspresi wajah dan gaya penampilan ketika mengucapkan salam menjadi perhatian yang sangat besar. Lebih dari itu, orang bisa langsung mengetahui identitas agama seseorang dari salamnya. Jikayang diwawancarai mengucapkan assalamu'alaikum, segera kita ketahui bahwa orang
tersebut beragama Islam. Demikian juga bila menggunakan salam yang lain.

Masalahnya kemudian, bagaimana jika assalamu 'alaikum sudah menjadi tradisi nasional, sehingga warga non-muslim juga mengucapkan hal yang sama? Banyak di
antara kita yang kelagapan menerima ucapan assalamu'alaikum dari kawan atau kenalan yang nyata-nyata bukan muslim. Ada yang menjawab dengan wa 'alaikum salam, tapi ada yang justru tidak menjawab sama sekali.

Urusan salam ternyata telah diajarkan oleh Islam sangat rinci sekali. Termasuk jika kita mendapatkan ucapan assalamu' alikum dari orang non-muslim. Dalam hal ini kita cukup menjawab mereka dengan ucapan: wa 'alikum. Kenapa demikian?

Ada dua alasan. Yang pertama, menjaga hubungan baik dan kesopanan. Dengan
ucapan wa 'alaikum mereka merasa mendapatkan respon baik dari kita. Mereka tidak merasa diacuhkan. Sebaliknya mereka merasa dihormati dan diterima.Alasan kedua, dengan hanya menjawab wa 'alaikum, maka berarti kita tidak mendoakan kepada mereka. Sebab doa seorang muslim kepada non-muslim itu tidak diterima. Kecuali mendoakan agar mereka mengikuti jalan kebenaran, yaitu Islam. Dengan Islam mudah-mudahan mereka selamat di dunia dan di akhirat.

Nabi Ibrahim adalah seorang anak yang sangat mencintai dan menghormati ayahnya.
Itulah sebabnya ia berdoa agar Allah menyelamatkan bapaknya. Akan tetapi perbuatan Ibrahim itu mendapat teguran dari Allah, karena bapaknya masih musyrik, menyembah berhala.

Demikian juga Nabi Muhammad saw. Beliau sangat mencintai Abu Thalib, pamannya. Lewat perlindungan pamannya inilah jiwanya selamat dan misinya berhasil. Tapi karena sampai akhir hayatnya Abu Thalib belum juga menyatakan beriman kepada Allah, maka Muhammad saw terhalang mendoakannya.

Inilah adat kesopanan yang diajarkan Islam. Kepada orang yang tidak seagama, kita tetap harus berbuat baik. Apalagi jika orang tersebut telah berjasa kepada kita. Kepada orang tua yang non-muslim misalnya, kita harus berbuat baik. Termasuk jika mereka memerintahkan berbuat maksiat, kita harus tetap berbuat baik kepada mereka, walaupun perintahnyatidak boleh kita jalankan. Demikian juga kepada orang yang jelas-jelasmenunjukkan permusuhannya, kita tidak boleh terpancing berbuat keji dan kotor.Sebisa mungkin kita mengendalikan diri. Jika kita berniatmembalasnya, maka balasan itu hendaknya setimpal, tidak boleh berlebihan.Pilihlah kata-kata yang tegas, lugas, tapi tetap sopan.

Dalam ajaran Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi memaafkan itu lebih baik. Jika benar-benar kita ingin membalas, balasan itu hendaknya tidak lebih dari yang ia terima. Berlebih-lebihan dalam pembalasan merupakan tindakkezhaliman. Allah berfirman:

"Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlakuhukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglahia seimbang dengan serangan terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa." (QS al-Baqarah: 194)

Tidak seperti agama lain yang mengajarkan bahwa bila pipi kananmu dipukul berikan pipi kirimu. Bila jubahmu diminta berikan bajumu. Ajaran ini justru tidak manusiawi, sebab sangat memberatkan mereka yang dizhalimi. Islam mengajarkan agar sesorang bisa memberi balasan setimpal dengan apa yang telah diterimanya. Meskipun demikian, memaafkan itu jauh lebih baik.

Seperti dalam kasus 'Aisyah di atas, jelas bahwa 'Aisyah sangat bisa membalas ucapan keji orang Yahudi. Apalagi saat itu Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin ruhani, tapi sekaligus merupakan kepala negara yang berkuasa. Apa susahnya membalas orang yang menghinanya, sedang menjebloskan mereka ke tahanan saja itu merupakan haknya. Tapi Rasulullah sebagai manusia agung memilih untukmemberi balasan yang secukupnya.

Keperkasaan seseorang tidak bisa diukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan, bukan mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang di setiap pertandingan tak terkalahkan. Menurut determinasi Islam orang yang kuat adalah mereka yang di kala marah bisa menahan dirinya.Rasulullah bersabda, "Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah."(HR Bukhari dan Muslim)

Menahan marah bukan pekerjaan mudah. Menuntut perjuangan yang amat berat lagi
susah, apalagi bagi mereka yang sedang mempunyai kemampuan dan kekuasaan untukmeluapkan kemarahannya. Akan tetapi justru di sinilah seseorang itu dinilai,apakah layak disebut ksatria atau tidak. Seorang ksatria adalah yang mampu
menahan marahnya, akan tetapi jika kezhaliman itu sudah melampau batas, iamampu membalasnya, setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang yang sepertiini akan mendapat jaminan dari Allah, berupa kecintaan yang mendalam.

Rasulullah bersabda:
"Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan pemeliharaandari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan senantiasamemasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta-Nya, yaitu
(1) seseorang yang selalu bersyukur manakala mendapat nikmat dari-Nya
(2) seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi mampu memberi maaf ataskesalahan orang, (3) seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan marahnya." (HR Hakim)

Dalam menghadapi situasi yang cenderung memancing emosi, manusia dapat dibedakan dalam tiga tipe. Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya ada. Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau memaafkan. Sedang ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah, tapi tidak bisa memaafkannya.

Dari ketiga kategori ini tentu saja golongan pertama yang lebih utama. Mereka disebut telah memiliki hilm, sifat sabar yang sangat besar. Sabar di atas sabar. Sifat ini telah dimiliki Rasulullah saw, dan telahdibuktikan dalam berbagai peristiwa.

Tentang sifat hilm ini Rasulullah bersabda, "Maukah aku ceritakan kepadamu tentang sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikanderajatmu? Para sahabat menjawab, tentu. Rasul bersabda, 'Kamu bersikap sabar (hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadmu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim denganmu.'" (HR Thabrani)

Wallahu a'lam bisshawab

0 comments: